
MAKALAH
MANAJEMEN RESIKO BANK
Tentang
“Pengelolaan Manajemen Risiko
Terhadap Pembiayaan Pada Bank Syariah”
Oleh :
Adek
Mutia (1730401004)
adekmutiafebiiainbatusangkar.blogspot.com
Dosen
Pengampu:
Ifelda Nengsih, SEI, MA
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2019
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari sering kali mendengar istilah kata “Resiko” dan
sudah biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan
orang. Resiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun
organisasi. Resiko dikaitkan dengan
kemungkinan kejadian atau keadaan yang belum pasti yang dapat mengancam
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Resiko
berhubungan dengan ketidakpastian terjadi karena kurang atau tidak tersedianya
cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Menurut Wideman,
ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan
istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan
akibat yang merugikan disebut dengan istilah Resiko (risk).
Resiko dapat
diminimalisir dan bahkan dihindari melalui manajemen Resiko. Peran dari
manajemen Resiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan yang cepat berubah,
mengoptimalkan strategic management, mengamankan sumber daya dan asset
yang dimiliki organisasi, serta mengurangi reactive decision making dari
manajemen puncak. dari pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan “bagaimana
melakukan manajemen Resiko yang baik dalam perusahaan?”
Dalam
kesempatan ini penulis ingin membahas manajemen resiko mengenai pembiayaan
resiko suatu perusahaan. Risiko pembiayaan
sering kali dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu pada
potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang diberikannya macet.
Debitur mengalami kondisi di mana dia tidak mampu memenuhi kewajiban
mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Selain pengembalian modal, risiko
ini juga mencakup ketidakmampuan debitur menyerahkan porsi keuntungan yang
seharusnya diperoleh dari bank dan telah diperjanjikan di awal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian risiko pembiayaan dan cakupannya?
2.
Apa urgensi manajemen risiko pembiayaan
pada bank islam?
3.
Bagaimana profil risiko pembiayaan bank
islam?
4.
Apa saja faktor penentu risiko
pembiayaan?
5.
Bagaimana pengelolaan risiko pembiayaan?
C.Tujuan
Masalah
1. Untuk
menjelaskan pengertian risiko pembiayaan dan cakupannya.
2. Untuk
menjelaskan
urgensi manajemen risiko pembiayaan pada
bank islam.
3.
Untuk
menjelaskan profil risiko pembiayaan bank islam.
4.
Untuk
menjelaskan faktor penentu risiko pembiayaan.
5. Untuk
menjelaskan pengelolaan
risiko pembiayaa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Risiko Pembiayaan Dan
Cakupannya
Konsep risiko berawal dari
ketidakpastian atas waktu yang datang. Ketidakmampuan kita mengetahui kejadian
pada waktu yang akan datang terkait erat dengan apa yang kita lakukan hari ini.
Dalam hal ini, bank sebagai kreditur atau pihak yang memberikan pinjaman
(pembiayaan) kepada debitur tentu harus mengalkulasi yang dapat timbul terkait
aktivitas pemberian pembiayaan tersebut. (Ikatan Bankir Indonesia (IBI), 2015,
hal. 73).
Pembiayaan adalah sebagai potensi
kegagalan peminjam untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang telah
disepakati. Tujuan dari manajemen pembiayaan adalah untuk memaksimalkan tingkat
pengembalian kepada bank dengan menjaga resiko pemberian kredit supaya berada
di parameter yang dapat diterima. Bank perlu mengelola risiko kredit dari
seluruh portofolio serta risiko dari individu atau kredit atau transaksi.
Sedangkan menurut pendapat lain
pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai
kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari
proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank syariah perlu
melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu
pembiayaan tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa
alasan. Bank syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah
sehingga dapat melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan
tersebut.
Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/23/2011 tanggal 02 November 2011 menyatakan bahwa
risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Termasuk kelompok dalam risiko pembiayaan adalah risiko konsentrasi, yaitu
resiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak
atau sekelompok pihak, industri, atau area geografis tertentu ynag berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan usaha bank.
Risiko pembiayaan dapat bersumber dari aktivitas bank, antara lain aktivitas
penyaluran dana bank baik on balance
sheet maupun off balance sheet (Ikatan
Bankir Indonesia (IBI), 2015, hal. 74).
Risiko
pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok
dan/atau bungan dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang
dilakukannya. penyebab terjadinya pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank
memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk
memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat
dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya (Muhammad,
2002. hal. 358).
Risiko ini
akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya
penjualan mengakibatkan berkurangnya penghasilan perusahaan sehingga perusahaan
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit
macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang tidak
sebanding dengan besarnya kredit yang diberikannya. Dan tentunya akan mengalami
kesulitan likuiditas yang berat jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar
(Rukmana, 2010, hal. 141).
Risiko
pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counter party risk dalam memenuhi
kewajiban. Dalam bank syariah, Cakupan Risiko pembiayaan adalah sebagai
berikut:
1. Akad
berbasis utang, yakni qardhul hasan, jual beli muajjal, dan jual
beli salam. Debitur yang melakukan pembiayaan menggunakan skema
akad-akad ini, diwajibkan untuk membayar kembali kepada bank sesuai dengan
termin yang yang telah diperjanjikan. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya
dianggap sebagai kondisi gagal bayar, gagal dalam membayar cicilan pokok maupun
porsi keuntungan (khusus akad jual beli).
2. Akad
berbasis syirkah, yakni mudharabah dan musyarakah, tidak dapat
dimasukkan ke dalam kategori risiko ini. Debitur, dalam kedua akad ini, tidak
diwajibkan untuk mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Apalagi
keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari hasil usaha berdasarkan nisbah
yang disepakati bersama. Realisasi bagi hasil, dan pengembalian modal, secara
mutlak bergantung pada realisasi hasil bisnis debitur. Jika debitur memperoleh
keuntungan, maka bank berhak atas keuntungan dan kembalinya modal sebesar 100%.
Ketika debitur mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada lagi utang,
sebaliknya, yang ada adalah bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Bank
Indonesia, melalui PBI Nomor 13/23/PBI/2011, cenderung memilih untuk memasukkan
risiko pembiayaan pada akad mudhrabah dan musyarakah pada
kelompok risiko investasi,
B. Urgensi Manajemen Risiko Pembiayaan
Pada Bank Islam
Dalam konteks teori keuangan, kaidah
fikih “al ghunmu bil ghurmi” tersebut dikenal dengan istilah “risk-return
trade-off” artinya makin besar imbal hasil yang kita harapkan, maka makin
besar pula risiko yang harus kita tanggung. Sebaliknya, makin besar risiko yang
kita tanggung, Berbeda halnya jika bank menerapkan manajemen risiko yang tepat
selama proses seleksi debitur dan dalam penetapan harga berdasarkan profil
risiko debitur. Dengan penerapan manajemen risiko, bank Islam akan dengan mudah
mengenali risiko, mengambil risiko tersebut dan mentransformasinya menjadi peluang
bisnis (Rustam, 2013, hal. 36).
Dalam aturan Basel dan PBI Nomor
13/23/PBI/2011, tingkat risiko yang dihadapi bank Islam kemudian akan dikaitkan
dengan kecukupan modal bank. Artinya bahwa semakin berisiko operasi suatu bank,
maka modal yang harus disetor dan dicadangkan untuk mengantisipasi risiko ini
menjadi makin besar pula. Efeknya, makin besar cadangan dana yang diminta,
makin besar porsi modal yang harus dicadangkan dan makin kecil pula kemampuan
bank dalam menyalurkan dananya. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan
menjadikan kemampuan profitabilitas bank menurun. Ujungnya adalah tergerusnya
kemampuan bank bersaing di pasar. Bank yang tidak mampu mengukur sendiri
tingkat risikonya akan dikenakan tingkat risiko standar yang ditetapkan oleh regulator.
C. Profil Risiko Pembiayaan Bank Islam
1.
Karakteristik Debitur
Dalam
ketentuan LBUS (laporan bank umum syariah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
(Lampiran SE No. 5/31/DSM tertanggal 1 Desember 2003), debitur dikelompokkan
menjadi dua, yakni UKM dan Bukan UKM. Semua debitur yang tidak masuk dalam
kelompok UKM, dikelompokkan menjadi Bukan UKM, termasuk di dalamnya korporasi
dan debitur nonbisnis (konsumen ritel)
Berdasarkan
data statistik perbankan syariah, komposisi debitur bank Islam didominasi oleh
sector UKM. Komposisi ini sebenarnya menunjukkan sisi positif bank Islam, yakni
keberpihakannya kepada sektor riil, terutama UKM. Bahkan saat ini, bank
Indonesia sedang gencar-gencarnya mengampanyekan peningkatan kontribusi
perbankan dalam pembiayaan ke sektor UKM melalui linkage program,
seperti skema channeling, executing, atau joint financing. Mengingat
bahwa mayoritas masyarakat Indonesia berada pada sektor menciptakan lapangan
kerja, menyerap tenaga kerja, dan memberikan kontribusi besar PDB.
Disisi lain,
pembiayaan ke sektor UKM terkendala oleh beberapa hal. Umumya, UKM belum
memiliki format laporan keuangan yang baku. Kalaupun ada, sering kali unaudited.
Sehingga informasi keuangan yang diberikan bersifat kurang dapat dipercaya (unreliable).
Kondisi ini secara teori dikenal dengan information opacity. Selain information
opacity, faktor lain yang menjadikan UKM kurang diminati oleh perbankan
adalah usaha UKM masih baru, tidak ada jaminan yang memadai, penguasaan
teknologi yang rendah, pendiri dan pengelola UKM belum memiliki pengalaman manajerial
mengelola bisnis (track record) yang memadai dan adanya information
opacity, menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan dananya ke UKM.
Meskipun
demikian, bank Islam tetap berkomitmen untuk mengembangkan sektor riil. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan porsi pembiayaan termasuk UKM yang konsisten pada
level 70% dari portofolio pembiayaan yang diberikan. Bukan rahasia lagi bahwa
sektor UKM merupakan sektor dengan imbal hasil yang sangat tinggi, lebih tinggi
dibandingkan korporasi. Al ghunmu bil ghurmi. High risk high return.
Itulah sunnatullah, jika ingin imbal hasil yang tinggi, maka bersiaplah
menanggung risiko yang tinggi pula (Wahyudi, 2013, hal. 80).
2.
Karakteristik Akad Pembiayaan
Dalam
menyalurkan dananya, bank konvensional menggunakan skema kredit. Melalui skema
ini, bank dapat meminta imbal hasil yang bersifat pasti kepada debitur dalam
bentuk bunga. Sayangnya skema kredit ini tidak dapat diaplikasikan sebagai
sumber pendapatan di dalam operasi bank Islam.
Dalam
syariah Islam, tidak diperkenankan adanya tambahan manfaat atau keuntungan yang
dipersyaratkan dalam pengembalian utang. Pada hakikatnya, skema kredit dalam
bank konvensional adalah bentuk utang, di mana bunga merupakan bentuk riba yang
terlarang. Dalam Islam, utang terhitung senilai jumlah nominal yang diterima
dan wajib dikembalikan sesuai nilai nominal tersebut. Dengan prinsip ini, tidak
ada potensi untuk menggunakan pendekatan indeksisasi atau lebih dikenal dengan
proses pendiskontoan nilai uang dalam bab utang-piutang..
Bentuk jual
beli yang memungkinkan terjadinya utang di dalamnya adalah jual beli salam dan
jual beli muajjal. Jual beli salam terjadi di mana pembeli telah
menyerahkan uangnya secara tunai pada waktu akad dan penjual menunda penyerahan
barangnya. Dalam kasus ini, penjual-lah yang bertindak sebagai orang yang
berutang. Dalam kajian kitab fikih klasik, jual beli salam biasanya
ditemukan dalam kasus jual beli hasil pertanian. Namun, secara umum, setiap
bentuk jual beli yang memiliki sifat ini (yakni pembeli menyerahkan pembayaran
penuh dimuka dan penjual menunda penyerahan barang di waktu kemudian yang
ditentukan) dapat dikelompokkan menjadi jual beli salam, meskipun
objeknya bukan hasil pertanian, seperti istishna.
Namun dalam
praktik perbankan Islam di Indonesia, istishna’ menggunakan bentuk jual
beli muajjal. Dalam jual beli muajjal, penjual menyerahkan objek
jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda pembayarannya. Berbeda dengan
akad ijarah, pembayaran sewa dapat dilakukan di awal akad, ketika sewa
dan setelah sewa berakhir. Memungkinkan bagi seorang penyewa rumah kontrakan
membayar penuh biaya sewa selama setahun di awal akad. Penyewa melakukan
pembayaran harga secara salaf atau salam (advance payment).
Dengan pembayaran ini, penyewa memiliki hak klaim atas kemanfaatan (menempati
rumah) sebagaimana dalam kontrak. Jika rumah tersebut menjadi rusak, bukan
karena faktor penyewa, dan menjadikannya tidak dapat dinikmati manfaat
penggunaan rumah oleh penyewa, maka pihak yang menyewakan berkewajiban memperbaiki
rumah tersebut atau mengganti dengan rumah lain yang memiliki nilai kemanfaatan
yang sama. Artinya, pihak yang menyewakan berutang kepada penyewa atas
penyediaan manfaat penggunaan rumah sebagaimana yang telah disepakati.
Sebaliknya, jual beli muajjal terjadi jika penjual telah menyerahkan
objek jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda pembayarannya. Dalam
kasus kontrak rumah sebelumnya (akad ijarah), penyewa dapat pula menunda
pembayaran sewanya (muajjal) setelah dia menempati atau memanfaatkan rumah
tersebut. Termasuk dalam kelompok jual beli dengan cara muajjal adalah
praktik jual beli murabahah pada perbankan Islam di Indonesia.
Kelompok
akad pembiayaan yang kedua adalah akad pembiayaan berbasis ekuitas (syirkah).
Bank Islam melakukan penyertaan modal kepada bisnis yang dijalankan oleh
debitur. Jika modal ditanggung 100% oleh bank Islam, maka syirkah ini
disebut sebagai mudharabah. Namun, jika debitur juga berpartisipasi
dalam modal, maka disebut musyarakah.
Kelompok
akad berikutnya adalah pembiayaan berbasis jual beli, seperti jual beli murabahah,
jual beli salam, dan jual beli muajjal (bi tsaman ajil), serta ijarah.
Meskipun berujung pada bentuk utang, namun memungkinkan bagi bank Islam untuk
mengambil untung atau margin. Berbeda dengan kelompok akad berbasis pertukaran
(jual beli dan ijarah), realisasi bagi hasil pada akad-akad syirkah,
yakni nudharabah dan musyarakah, sangat fleksibel mengikuti
dinamika pasar.
D. Faktor Penentu Risiko Pembiayaan
1.
Akad Qardhul Hasan
Qardhul
hasan termasuk kategori akad tolong-menolong murni (li tabarru’). Bank
Islam tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengambil keuntungan dalam
bentuk dan alasan apa pun. Dalam konteks manajemen risiko, langkah
terbaik yang bisa dilakukan oleh bank hanyalah mencegah risiko tidak kembalinya
modal yang dipinjamkan. Modal yang dipinjamkan dapat berupa uang atau barang.
2. Akad Jual
Beli Muajjal
Dalam jual
beli muajjal, bank selaku penjual diharuskan telah memiliki barang atau
objek jual beli pada waktu kontrak.
Dalam jual
beli muajjal, memungkinkan bagi penjual untuk menyampaikan harga beli
barang (jual beli bil amanah) ataupun tidak (jual beli al musawamah).
Harga perolehan yang disampaikan dapat meliputi harga beli, biaya transportasi,
biaya perawatan, biaya penyimpanan, biaya perbaikan, beban pajak, dan semua
yang terkait pada barang tersebut. Penyampaian informasi ini sebaiknya
dikuatkan dengan bukti autentik, seperti kuitansi atau selainnya.
3. Akad Jual
Beli Salam
Pada
asalnya, jual beli salam digunakan untuk produk hasil pertanian, seperti
kurma, anggur, gandum, beras, jagung, kedelai, dan sebagainya. Akad jual beli salam
mengharuskan bank mengeluarkan modal di awal waktu. Bedanya dengan jual beli muajjal
adalah bank menyerahkan modal tersebut dalam bentuk uang tunai dan
penyelesaian kontrak berupa penyerahan barang atau hasil pertanian oleh
debitur. Dalam akad jual beli salam, bank bertindak sebagai pembeli dan
debitur sebagai penjual. Debitur tidak dipersyaratkan untuk memiliki lahan
pertanian.
Masing-masing
alternatif memberikan konsekuensi risiko yang berbeda. Normalnya, modal yang
diterima dari bank akan digunakan debitur untuk menanam dan mengolah ladangnya.
Ketika terjadi gagal panen, debitur tentu akan mencari solusi pemenuhan kontrak
dengan membeli beras ke pasar, itupun dengan asumsi bahwa debitur masih
memiliki cukup dana. Jika tidak, debitur akan mengalami gagal bayar berupa
ketidakmampuan menyerahkan beras ke bank. Untuk mengurangi risiko ini, bank
dapat meminta agunan dan jaminan pihak ketiga. Jika dalam bentuk uang, bank
hanya berhak menerima uang sebesar yang diberikannya kepada debitur, atau
alternatifnya memaksa debitur menyerahkan beras sesuai kontrak.
4.
Akad Istishna’
Pendapat
jumhur ulama, seperti Imam Malik, Shafi’e, Ahmad, Zufar (Hanafi) dan lainnya,
menyatakan bahwa Pembeli harus membayar
penuh harga pada waktu akad jual beli (Az Zuhaily (2003), hlm. 271-272). Bila
pengklasifikasian ini digunakan, konsekuensinya adalah istishna’ harus
diperlakukan sebagaimana jual beli salam. Pembeli harus menyerahkan
pembayaran penuh di awal waktu. Perbedaan kedua akad ini (jual beli salam dan
istishna’) hanyalah pada objek jual belinya. Jika salam
diperuntukkan untuk hasil pertanian, istishna’ digunakan pada barang
hasil kontruksi atau produksi, seperti pakaian, rumah, mobil, gedung, dan
sebagainya.
5.
Akad Ijarah
Ijarah
merupakan bentuk pertukaran di mana objeknya adalah jasa. Cakupan akad ini
sangat luas, seperti jasa penitipan (sepeda motor, mobil, uang, dan saving
box), jasa penyewaan (sewa rumah, sewa mobil, dan sewa mesin), jasa
transportasi (amgkot, bus, kereta api, pesawat terbang, dan ojek), dan karyawan
bekerja pada perusahaan. Bahkan wakalah bil ujrah pun termasuk dalam ijarah.
Bank Islam menggunakan ijarah dalam beberapa bentuk. Berdasarkan
penyerahan jasa (kemanfaatan) dan uang, ijarah yang digunakan oleh bank
adalah berbentuk muajjal, di mana bank menyediakan jasa atau persewaan
terlebih dahulu dan debitur membayarnya secara tertunda (Ash Shiddieqy, 1997
hal. 328)
E. Pengelolaan Risiko Pembiayaan
Dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang penerapan
manajemen risiko bagi Bank Umun Syariah dan Unit Usaha Syariah, bank wajib
menerapkan manajemen risiko secara efektif, baik untuk secara individual maupun
bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, yang paling kurang mencakup 4
pilar sebagai berikut: pertama, Pengawasan aktif Dewan
Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah. Kedua, Kecukupan
kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko. Ketiga, Kecukupan proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem
informasi manajemen risiko. Keempat, Sistem pengendalian internal
yang menyeluruh.
Proses
pengelolaan risiko pembiayaan yang baik adalah sebagai berikut:
1.
Identifikasi Risiko
Pelaksanaan
proses identifikasi risiko dilakukan dengan melakukan analisis paling tidak
terhadap:
a.
Karakteristik
risiko yang melekat pada bank
b.
Risiko dari produk dan kegiatan usaha bank
2.
Pengukuran Risiko
a. Evaluasi secara berkala terhadap
kesesuaian asuransi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur
risiko.
b. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran
risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha bank, produk, transaksi,
faktor risiko, yang bersifat material yang dapat memengaruhi kondisi keuangan
bank.
3.
Pemantauan Risiko
a.
Evaluasi terhadap eksposur risiko
b. penyempurnaan proses pelaporan apabila
terdapat perubahan kegiatan usaha bank, produk, transaksi, faktor risiko,
teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat
material.
4.
Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko harus sesuai dengan
prinsip syariah
5.
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Paling kurang mencakup laporan atau
informasi mengenai:
a. Eksposur risiko
b.
Kepatuhan terhadap kebijakan dan
prosedur serta penetapan limit.
c.
Realisasi pelaksana manajemen risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Laporan
atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi manajemen risiko wajib disampaikan
secara rutin kepada Direksi (Ikatan Bankir Indonesia (IBI), 2015, hal. 94).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Risiko
pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Termasuk kelompok dalam risiko pembiayaan adalah risiko konsentrasi, yaitu
resiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak
atau sekelompok pihak, industri, atau area geografis tertentu ynag berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan usaha bank.
Risiko
pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok
dan/atau bungan dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang
dilakukannya. penyebab terjadinya pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank
memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk
memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat
dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Cakupan Risiko pembiayaan dalam
perbankan syariah, seperti qardhul hasan, jual beli murabahah,
jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), ijarah,
mudharabah, musyarakah, musaqat, dan muzara’ah. Secara umum, semua
akad pembiayaan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni akad berbasis utang
dan akad berbasis syirkah. Termasuk kelompok akad berbasis utang adalah qardhul
hasan, jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli muajjal
(bi tsaman ajil), dan ijarah. Sedankan akad yang berbasis syirkah yakni
mudharabah dan musyarakah.
Faktor Penentu Risiko
Pembiayaan yaitu berdasarkan pada akad-akad tertentu yakni Pertama, Akad Qardhul Hasan. Kedua, Akad Jual Beli Muajjal.
Ketiga, Akad Jual Beli Salam, Keempat,
Akad Istishna. Kelima, Akad Ijarah
Proses pengelolaan
risiko pembiayaan yang baik adalah sebagai berikut: pertama, Identifikasi
Risiko. Kedua, Pengukuran
Risiko. Ketiga, Pemantauan
Risiko, Keempat, Pengendalian
Risiko. Kelima, Sistem Informasi
Manajemen Risiko kemudian Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem
informasi manajemen risiko wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi.
B. Saran
Penyusun sangat
menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, semua pihak yang membaca makalah ini agar
memberikan kritikan dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ash
Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. “Hukum-Hukum Fiqh Islam”. Semarang:
Pustaka Rizki.
Ikatan
Bankir Indonesia (IBI). 2015. “Mengelola
Bisnis Pembiayaan Bank Syariah”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad. 2002.
“Manajemen Bank Syari’ah”.
Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Rukmana,
Amir Machmud. 2010. “Bank Syariah: Teori,
Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rustam, Bambang
Rianto. 2013. “Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia”.
Jakarta: Selemba Empat.
Wahyudi, Imam. 2013. “Manajemen Risiko Bank Islam”.
Jakarta: Selemba Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar