Jumat, 20 September 2019

Pengelolaan Manajemen Risiko Terhadap Pembiayaan Pada Bank Syariah


Description: Hasil gambar untuk lambang IAIN batusangkar

MAKALAH
MANAJEMEN RESIKO BANK

Tentang
“Pengelolaan Manajemen Risiko Terhadap Pembiayaan Pada Bank Syariah”


Oleh :
Adek Mutia (1730401004)
adekmutiafebiiainbatusangkar.blogspot.com


Dosen Pengampu:
Ifelda Nengsih, SEI, MA



JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2019




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali mendengar istilah kata “Resiko” dan sudah biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Resiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun organisasi.  Resiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang belum pasti yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Resiko berhubungan dengan ketidakpastian terjadi karena kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah Resiko (risk). 
Resiko dapat diminimalisir dan bahkan dihindari melalui manajemen Resiko.  Peran dari manajemen Resiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan yang cepat berubah, mengoptimalkan strategic management, mengamankan sumber daya dan asset yang dimiliki organisasi, serta mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak. dari pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan “bagaimana melakukan manajemen Resiko yang baik dalam perusahaan?”
Dalam kesempatan ini penulis ingin membahas manajemen resiko mengenai pembiayaan resiko suatu perusahaan. Risiko pembiayaan sering kali dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang diberikannya macet. Debitur mengalami kondisi di mana dia tidak mampu memenuhi kewajiban mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Selain pengembalian modal, risiko ini juga mencakup ketidakmampuan debitur menyerahkan porsi keuntungan yang seharusnya diperoleh dari bank dan telah diperjanjikan di awal. 


B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian risiko pembiayaan dan cakupannya?
2.    Apa urgensi manajemen risiko pembiayaan pada bank islam?
3.    Bagaimana profil risiko pembiayaan bank islam?
4.    Apa saja faktor penentu risiko pembiayaan?
5.    Bagaimana pengelolaan risiko pembiayaan?

                C.Tujuan Masalah
1.    Untuk menjelaskan pengertian risiko pembiayaan dan cakupannya.
2.    Untuk menjelaskan  urgensi manajemen risiko pembiayaan pada bank islam.
3.    Untuk menjelaskan profil risiko pembiayaan bank islam.
4.    Untuk menjelaskan faktor penentu risiko pembiayaan.
5.   Untuk menjelaskan  pengelolaan risiko pembiayaa.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Risiko Pembiayaan Dan Cakupannya
          Konsep risiko berawal dari ketidakpastian atas waktu yang datang. Ketidakmampuan kita mengetahui kejadian pada waktu yang akan datang terkait erat dengan apa yang kita lakukan hari ini. Dalam hal ini, bank sebagai kreditur atau pihak yang memberikan pinjaman (pembiayaan) kepada debitur tentu harus mengalkulasi yang dapat timbul terkait aktivitas pemberian pembiayaan tersebut. (Ikatan Bankir Indonesia (IBI), 2015, hal. 73).
          Pembiayaan adalah sebagai potensi kegagalan peminjam untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Tujuan dari manajemen pembiayaan adalah untuk memaksimalkan tingkat pengembalian kepada bank dengan menjaga resiko pemberian kredit supaya berada di parameter yang dapat diterima. Bank perlu mengelola risiko kredit dari seluruh portofolio serta risiko dari individu atau kredit atau transaksi.
          Sedangkan menurut pendapat lain pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan tersebut.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/2011 tanggal 02 November 2011 menyatakan bahwa risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Termasuk kelompok dalam risiko pembiayaan adalah risiko konsentrasi, yaitu resiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak atau sekelompok pihak, industri, atau area geografis tertentu ynag berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan usaha bank. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari aktivitas bank, antara lain aktivitas penyaluran dana bank baik on balance sheet maupun off balance sheet (Ikatan Bankir Indonesia (IBI), 2015, hal. 74).
            Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bungan dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. penyebab terjadinya pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya (Muhammad, 2002. hal.  358).
Risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurangnya penghasilan perusahaan sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini mengakibatkan meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikannya. Dan tentunya akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar (Rukmana, 2010, hal. 141).
Risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counter party risk dalam memenuhi kewajiban. Dalam bank syariah, Cakupan Risiko pembiayaan adalah sebagai berikut:
1.    Akad berbasis utang, yakni qardhul hasan, jual beli muajjal, dan jual beli salam. Debitur yang melakukan pembiayaan menggunakan skema akad-akad ini, diwajibkan untuk membayar kembali kepada bank sesuai dengan termin yang yang telah diperjanjikan. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai kondisi gagal bayar, gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan (khusus akad jual beli).
2.    Akad berbasis syirkah, yakni mudharabah dan musyarakah, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori risiko ini. Debitur, dalam kedua akad ini, tidak diwajibkan untuk mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Apalagi keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari hasil usaha berdasarkan nisbah yang disepakati bersama. Realisasi bagi hasil, dan pengembalian modal, secara mutlak bergantung pada realisasi hasil bisnis debitur. Jika debitur memperoleh keuntungan, maka bank berhak atas keuntungan dan kembalinya modal sebesar 100%. Ketika debitur mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada lagi utang, sebaliknya, yang ada adalah bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Bank Indonesia, melalui PBI Nomor 13/23/PBI/2011, cenderung memilih untuk memasukkan risiko pembiayaan pada akad mudhrabah dan musyarakah pada kelompok risiko investasi,

B.  Urgensi Manajemen Risiko Pembiayaan Pada Bank Islam
          Dalam konteks teori keuangan, kaidah fikih “al ghunmu bil ghurmi” tersebut dikenal dengan istilah “risk-return trade-off” artinya makin besar imbal hasil yang kita harapkan, maka makin besar pula risiko yang harus kita tanggung. Sebaliknya, makin besar risiko yang kita tanggung, Berbeda halnya jika bank menerapkan manajemen risiko yang tepat selama proses seleksi debitur dan dalam penetapan harga berdasarkan profil risiko debitur. Dengan penerapan manajemen risiko, bank Islam akan dengan mudah mengenali risiko, mengambil risiko tersebut dan mentransformasinya menjadi peluang bisnis (Rustam, 2013, hal. 36).
          Dalam aturan Basel dan PBI Nomor 13/23/PBI/2011, tingkat risiko yang dihadapi bank Islam kemudian akan dikaitkan dengan kecukupan modal bank. Artinya bahwa semakin berisiko operasi suatu bank, maka modal yang harus disetor dan dicadangkan untuk mengantisipasi risiko ini menjadi makin besar pula. Efeknya, makin besar cadangan dana yang diminta, makin besar porsi modal yang harus dicadangkan dan makin kecil pula kemampuan bank dalam menyalurkan dananya. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menjadikan kemampuan profitabilitas bank menurun. Ujungnya adalah tergerusnya kemampuan bank bersaing di pasar. Bank yang tidak mampu mengukur sendiri tingkat risikonya akan dikenakan tingkat risiko standar yang ditetapkan oleh regulator.

C.  Profil Risiko Pembiayaan Bank Islam
1.    Karakteristik Debitur
Dalam ketentuan LBUS (laporan bank umum syariah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Lampiran SE No. 5/31/DSM tertanggal 1 Desember 2003), debitur dikelompokkan menjadi dua, yakni UKM dan Bukan UKM. Semua debitur yang tidak masuk dalam kelompok UKM, dikelompokkan menjadi Bukan UKM, termasuk di dalamnya korporasi dan debitur nonbisnis (konsumen ritel)
Berdasarkan data statistik perbankan syariah, komposisi debitur bank Islam didominasi oleh sector UKM. Komposisi ini sebenarnya menunjukkan sisi positif bank Islam, yakni keberpihakannya kepada sektor riil, terutama UKM. Bahkan saat ini, bank Indonesia sedang gencar-gencarnya mengampanyekan peningkatan kontribusi perbankan dalam pembiayaan ke sektor UKM melalui linkage program,  seperti skema channeling, executing, atau joint financing. Mengingat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia berada pada sektor menciptakan lapangan kerja, menyerap tenaga kerja, dan memberikan kontribusi besar PDB.
Disisi lain, pembiayaan ke sektor UKM terkendala oleh beberapa hal. Umumya, UKM belum memiliki format laporan keuangan yang baku. Kalaupun ada, sering kali unaudited. Sehingga informasi keuangan yang diberikan bersifat kurang dapat dipercaya (unreliable). Kondisi ini secara teori dikenal dengan information opacity. Selain information opacity, faktor lain yang menjadikan UKM kurang diminati oleh perbankan adalah usaha UKM masih baru, tidak ada jaminan yang memadai, penguasaan teknologi yang rendah, pendiri dan pengelola UKM belum memiliki pengalaman manajerial mengelola bisnis (track record) yang memadai dan adanya information opacity, menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan dananya ke UKM.
Meskipun demikian, bank Islam tetap berkomitmen untuk mengembangkan sektor riil. Hal ini dapat ditunjukkan dengan porsi pembiayaan termasuk UKM yang konsisten pada level 70% dari portofolio pembiayaan yang diberikan. Bukan rahasia lagi bahwa sektor UKM merupakan sektor dengan imbal hasil yang sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan korporasi. Al ghunmu bil ghurmi. High risk high return. Itulah sunnatullah, jika ingin imbal hasil yang tinggi, maka bersiaplah menanggung risiko yang tinggi pula (Wahyudi, 2013, hal. 80).

2.    Karakteristik  Akad Pembiayaan
Dalam menyalurkan dananya, bank konvensional menggunakan skema kredit. Melalui skema ini, bank dapat meminta imbal hasil yang bersifat pasti kepada debitur dalam bentuk bunga. Sayangnya skema kredit ini tidak dapat diaplikasikan sebagai sumber pendapatan di dalam operasi bank Islam.
Dalam syariah Islam, tidak diperkenankan adanya tambahan manfaat atau keuntungan yang dipersyaratkan dalam pengembalian utang. Pada hakikatnya, skema kredit dalam bank konvensional adalah bentuk utang, di mana bunga merupakan bentuk riba yang terlarang. Dalam Islam, utang terhitung senilai jumlah nominal yang diterima dan wajib dikembalikan sesuai nilai nominal tersebut. Dengan prinsip ini, tidak ada potensi untuk menggunakan pendekatan indeksisasi atau lebih dikenal dengan proses pendiskontoan nilai uang dalam bab utang-piutang..
Bentuk jual beli yang memungkinkan terjadinya utang di dalamnya adalah jual beli salam dan jual beli muajjal. Jual beli salam terjadi di mana pembeli telah menyerahkan uangnya secara tunai pada waktu akad dan penjual menunda penyerahan barangnya. Dalam kasus ini, penjual-lah yang bertindak sebagai orang yang berutang. Dalam kajian kitab fikih klasik, jual beli salam biasanya ditemukan dalam kasus jual beli hasil pertanian. Namun, secara umum, setiap bentuk jual beli yang memiliki sifat ini (yakni pembeli menyerahkan pembayaran penuh dimuka dan penjual menunda penyerahan barang di waktu kemudian yang ditentukan) dapat dikelompokkan menjadi jual beli salam, meskipun objeknya bukan hasil pertanian, seperti istishna.
Namun dalam praktik perbankan Islam di Indonesia, istishna’ menggunakan bentuk jual beli muajjal. Dalam jual beli muajjal, penjual menyerahkan objek jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda pembayarannya. Berbeda dengan akad ijarah, pembayaran sewa dapat dilakukan di awal akad, ketika sewa dan setelah sewa berakhir. Memungkinkan bagi seorang penyewa rumah kontrakan membayar penuh biaya sewa selama setahun di awal akad. Penyewa melakukan pembayaran harga secara salaf atau salam (advance payment). Dengan pembayaran ini, penyewa memiliki hak klaim atas kemanfaatan (menempati rumah) sebagaimana dalam kontrak. Jika rumah tersebut menjadi rusak, bukan karena faktor penyewa, dan menjadikannya tidak dapat dinikmati manfaat penggunaan rumah oleh penyewa, maka pihak yang menyewakan berkewajiban memperbaiki rumah tersebut atau mengganti dengan rumah lain yang memiliki nilai kemanfaatan yang sama. Artinya, pihak yang menyewakan berutang kepada penyewa atas penyediaan manfaat penggunaan rumah sebagaimana yang telah disepakati. Sebaliknya, jual beli muajjal terjadi jika penjual telah menyerahkan objek jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda pembayarannya. Dalam kasus kontrak rumah sebelumnya (akad ijarah), penyewa dapat pula menunda pembayaran sewanya (muajjal) setelah dia menempati atau memanfaatkan rumah tersebut. Termasuk dalam kelompok jual beli dengan cara muajjal adalah praktik jual beli murabahah pada perbankan Islam di Indonesia.
Kelompok akad pembiayaan yang kedua adalah akad pembiayaan berbasis ekuitas (syirkah). Bank Islam melakukan penyertaan modal kepada bisnis yang dijalankan oleh debitur. Jika modal ditanggung 100% oleh bank Islam, maka syirkah ini disebut sebagai mudharabah. Namun, jika debitur juga berpartisipasi dalam modal, maka disebut musyarakah. 
Kelompok akad berikutnya adalah pembiayaan berbasis jual beli, seperti jual beli murabahah, jual beli salam, dan jual beli muajjal (bi tsaman ajil), serta ijarah. Meskipun berujung pada bentuk utang, namun memungkinkan bagi bank Islam untuk mengambil untung atau margin. Berbeda dengan kelompok akad berbasis pertukaran (jual beli dan ijarah), realisasi bagi hasil pada akad-akad syirkah, yakni nudharabah dan musyarakah, sangat fleksibel mengikuti dinamika pasar.

D.  Faktor Penentu Risiko Pembiayaan
1.    Akad Qardhul Hasan
Qardhul hasan termasuk kategori akad tolong-menolong murni (li tabarru’). Bank Islam tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengambil keuntungan dalam bentuk  dan alasan apa pun. Dalam konteks manajemen risiko, langkah terbaik yang bisa dilakukan oleh bank hanyalah mencegah risiko tidak kembalinya modal yang dipinjamkan. Modal yang dipinjamkan dapat berupa uang atau barang.

2.    Akad Jual Beli Muajjal
Dalam jual beli muajjal, bank selaku penjual diharuskan telah memiliki barang atau objek jual beli pada waktu kontrak. Dalam jual beli muajjal, memungkinkan bagi penjual untuk menyampaikan harga beli barang (jual beli bil amanah) ataupun tidak (jual beli al musawamah). Harga perolehan yang disampaikan dapat meliputi harga beli, biaya transportasi, biaya perawatan, biaya penyimpanan, biaya perbaikan, beban pajak, dan semua yang terkait pada barang tersebut. Penyampaian informasi ini sebaiknya dikuatkan dengan bukti autentik, seperti kuitansi atau selainnya.

3.    Akad Jual Beli Salam
Pada asalnya, jual beli salam digunakan untuk produk hasil pertanian, seperti kurma, anggur, gandum, beras, jagung, kedelai, dan sebagainya. Akad jual beli salam mengharuskan bank mengeluarkan modal di awal waktu. Bedanya dengan jual beli muajjal adalah bank menyerahkan modal tersebut dalam bentuk uang tunai dan penyelesaian kontrak berupa penyerahan barang atau hasil pertanian oleh debitur. Dalam akad jual beli salam, bank bertindak sebagai pembeli dan debitur sebagai penjual. Debitur tidak dipersyaratkan untuk memiliki lahan pertanian.
Masing-masing alternatif memberikan konsekuensi risiko yang berbeda. Normalnya, modal yang diterima dari bank akan digunakan debitur untuk menanam dan mengolah ladangnya. Ketika terjadi gagal panen, debitur tentu akan mencari solusi pemenuhan kontrak dengan membeli beras ke pasar, itupun dengan asumsi bahwa debitur masih memiliki cukup dana. Jika tidak, debitur akan mengalami gagal bayar berupa ketidakmampuan menyerahkan beras ke bank. Untuk mengurangi risiko ini, bank dapat meminta agunan dan jaminan pihak ketiga. Jika dalam bentuk uang, bank hanya berhak menerima uang sebesar yang diberikannya kepada debitur, atau alternatifnya memaksa debitur menyerahkan beras sesuai kontrak.

4.    Akad Istishna’
Pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Shafi’e, Ahmad, Zufar (Hanafi) dan lainnya, menyatakan bahwa  Pembeli harus membayar penuh harga pada waktu akad jual beli (Az Zuhaily (2003), hlm. 271-272). Bila pengklasifikasian ini digunakan, konsekuensinya adalah istishna’ harus diperlakukan sebagaimana jual beli salam. Pembeli harus menyerahkan pembayaran penuh di awal waktu. Perbedaan kedua akad ini (jual beli salam dan istishna’) hanyalah pada objek jual belinya. Jika salam diperuntukkan untuk hasil pertanian, istishna’ digunakan pada barang hasil kontruksi atau produksi, seperti pakaian, rumah, mobil, gedung, dan sebagainya.

5.    Akad Ijarah
Ijarah merupakan bentuk pertukaran di mana objeknya adalah jasa. Cakupan akad ini sangat luas, seperti jasa penitipan (sepeda motor, mobil, uang, dan saving box), jasa penyewaan (sewa rumah, sewa mobil, dan sewa mesin), jasa transportasi (amgkot, bus, kereta api, pesawat terbang, dan ojek), dan karyawan bekerja pada perusahaan. Bahkan wakalah bil ujrah pun termasuk dalam ijarah. Bank Islam menggunakan ijarah dalam beberapa bentuk. Berdasarkan penyerahan jasa (kemanfaatan) dan uang, ijarah yang digunakan oleh bank adalah berbentuk muajjal, di mana bank menyediakan jasa atau persewaan terlebih dahulu dan debitur membayarnya secara tertunda (Ash Shiddieqy, 1997 hal. 328)

E.  Pengelolaan Risiko Pembiayaan
          Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang penerapan manajemen risiko bagi Bank Umun Syariah dan Unit Usaha Syariah, bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, baik untuk secara individual maupun bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, yang paling kurang mencakup 4 pilar sebagai berikut: pertama, Pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah. Kedua, Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko. Ketiga, Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko. Keempat, Sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
    Proses pengelolaan risiko pembiayaan yang baik adalah sebagai berikut:
1.    Identifikasi Risiko
Pelaksanaan proses identifikasi risiko dilakukan dengan melakukan analisis paling tidak terhadap:
a.     Karakteristik risiko yang melekat pada bank
b.     Risiko dari produk dan kegiatan usaha bank
2.    Pengukuran Risiko
a.     Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asuransi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
b.  Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha bank, produk, transaksi, faktor risiko, yang bersifat material yang dapat memengaruhi kondisi keuangan bank.
3.    Pemantauan Risiko
a.       Evaluasi terhadap eksposur risiko
b.   penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha bank, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat material.
4.    Pengendalian Risiko
     Pengendalian risiko harus sesuai dengan prinsip syariah
5.    Sistem Informasi Manajemen Risiko
     Paling kurang mencakup laporan atau informasi mengenai:
a.      Eksposur risiko
b.      Kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit.
c.       Realisasi pelaksana manajemen risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi manajemen risiko wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi (Ikatan Bankir Indonesia (IBI), 2015, hal. 94).





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
          Risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Termasuk kelompok dalam risiko pembiayaan adalah risiko konsentrasi, yaitu resiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak atau sekelompok pihak, industri, atau area geografis tertentu ynag berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan usaha bank.
          Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bungan dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. penyebab terjadinya pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
            Cakupan Risiko pembiayaan dalam perbankan syariah, seperti qardhul hasan, jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), ijarah, mudharabah, musyarakah, musaqat, dan muzara’ah. Secara umum, semua akad pembiayaan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni akad berbasis utang dan akad berbasis syirkah. Termasuk kelompok akad berbasis utang adalah qardhul hasan, jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), dan ijarah. Sedankan akad yang berbasis syirkah yakni mudharabah dan musyarakah.
            Faktor Penentu Risiko Pembiayaan yaitu berdasarkan pada akad-akad tertentu yakni Pertama, Akad Qardhul Hasan. Kedua, Akad Jual Beli Muajjal. Ketiga, Akad Jual Beli Salam, Keempat, Akad Istishna. Kelima, Akad Ijarah
          Proses pengelolaan risiko pembiayaan yang baik adalah sebagai berikut: pertama, Identifikasi Risiko. Kedua, Pengukuran Risiko. Ketiga, Pemantauan Risiko, Keempat, Pengendalian Risiko. Kelima, Sistem Informasi Manajemen Risiko kemudian Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi manajemen risiko wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi.

B.  Saran
          Penyusun sangat menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, semua pihak yang membaca makalah ini agar memberikan kritikan dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. “Hukum-Hukum Fiqh Islam”. Semarang: Pustaka Rizki.
Ikatan Bankir Indonesia (IBI). 2015. “Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad. 2002. “Manajemen Bank Syari’ah”. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Rukmana, Amir Machmud. 2010. “Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rustam, Bambang Rianto. 2013. “Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia”. Jakarta: Selemba Empat.
Wahyudi,  Imam. 2013. “Manajemen Risiko Bank Islam”. Jakarta: Selemba Empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar