Jumat, 26 Oktober 2018

Institusi Wakaf


Description: Hasil gambar untuk lambang IAIN batusangkar

MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH NON BANK
TENTANG

INSTITUSI WAKAF
OLEH:


ADEK MUTIA
1730401004
adekmutiafebiiainbatusangkar.blogspot.com




DOSEN PENGAMPU :
DR.H.SYUKRI ISKA,M.Ag
IFELDA NENGSIH,SEI,MA.





JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018








BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Wakaf merupakan hal yang sangat penting dalam perekonomian umat. Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam di Indonesia yaitu adat istiadat. Wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam..
Sistem manajemen pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf diindonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabdian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitik beratkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri
Di Indonesia, sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola dengan produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan. Maka dari itu, dibentuklah BWI (Badan Waqaf Indonesia) oleh  pemerintah agar  mampu mengembangkan wakaf melalui program pemberdayaan maupun penghimpunan wakaf.

B.  Rumusan Masalah 
1.    Bagaimana mekanisme operasional institusi Wakaf?
2.    Bagaimana  perkembangan wakaf di Indonesia?

C.  Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme operasional institusi Wakaf
2.      Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana  perkembangan wakaf di Indonesia.


.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Mekanisme Operasional Waqaf
1.    Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa”berarti menahan, berhenti, diam di tempat, atau tetap berdiri. Wakaf bermakna “pembatas” atau “larangan”. Sehingga wakaf digunakan dalam islam untuk maksud “kepemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan . (Iska, Nengsih, 2016: Hal. 156)
Menurut UU No. 41 tahun 2004, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum meneurut syariah. (dalam UU No. 41 Tahun 2004)
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (pengelola wakaf), baik berupa perorangan, organisasi maupun badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir, tetapi menjadi hak milik allah dalam pengertian hak milik secara umum.

2.    Tujuan Waqaf
a.       Menggalang tabungan sosial dan menstranformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial.
b.      Meningkatkan investasi sosial.
c.    Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya atau berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya.
d.  Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya atau berkecukupan mengali tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
e. Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan. (Sudarsono, 2003:  hal.  263-265)

3.    Unsur-unsur wakaf
a.       Wakif (orang yang berwakaf)
b.      Nazhir (pengelola wakaf)
c.       Harta benda wakaf
d.      Ikrar waqaf
e.       Peruntukan harta waqaf
f.       Ikrar waqaf (Iska, Nengsih, 2016)

4.    Harta Benda Wakaf dan Pemanfaatannya.
Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak, dan benda bergerak.
a.    Wakaf benda tidak bergerak. Pasal 16 ayat 2 UU No. 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:
1)   Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sesudah maupun yang belum terdaftar.
2)        Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri dari di atas tanah.
3)       Tanaman dana benda lain yang berkaitan dengan tanah.
4)       Hak milik atas suatu rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
5)  Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.    Wakaf benda bergerak
1)        Uang
2)        Logam mulia
3)        Surat berharga
4)        Kendaraan
5)        Hak atas kekayaan intelektual
6)        Hak sewa
7)        Benda bergerak yang sesuai denagn ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Iska, Nengsih, 2016)

B.  Perkembangan Wakaf di Indonesia
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Pada masa-masa awal penyiaran Islam, kebutuhan terhadap masjid untuk menjalankan aktivitas keagamaan dan dakwah berdampak positif, yakni pemberian tanah wakaf untuk mendirikan masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di komunitas Islam di Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waKtu praktik perwakafan mengalami kemajuan. Tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan dan mulai muncul wakaf lain untuk kegiatan pendidikan seperti pendirian pesantren dan madrasah. Dalam periode berikutnya, corak pemanfaatan wakaf terus berkembang sehingga mencakup pelayanan sosial kesehatan seperti klinik.
Perkembangan wakaf juga dipengaruhi oleh kebijakan perundang-undangan pada masanya. Aturan perundang-undangan wakaf terus mengalami perkembangan sejalan dengan dinamika perkembangan dan pengelolaan wakaf di lapangan. Jumlah dan aset wakaf terus meningkat, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan upaya peningkatan mutu pengelolaan wakaf, terutama peningkatan mutu sumber daya manusia dan manajemennya. Karena itu wakaf produktif tidak berkembang dengan baik.
Ajaran wakaf terus berkembang di Indonesia baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka. Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun perkembangan wakaf kemudian tidak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, masdrasah, pekuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Hal tersebut berarti tidak jauh berbeda dengan wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dengan kegunaannya yang terbatas pada kegiatan sosial keagamaan.
Pada tahun 2001 stagnasi perkembangan wakaf mulai mengalami dinamis, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Pada tahun 2002, MUI menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang. Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat dengan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga berupa benda bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai pada pengelolaan harta wakaf.


1.    Bentuk wakaf di Indonesia
Di Indonesia, wakaf pada umumnya berupa benda-benda konsumtif, bukan barang-barang yang produktif. Dapat dilihat pada mesjid, sekolah-sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan sebagainya. Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal, diantaranya seperti di Jawa tanah telah sempit dan daerah-daerah lain, menurut hukum adat, hak milik perorangan atau tanah dibatasi oleh hak masyarakat hukum adat. Karena harta yang diwakafkan itu pada umumnya barang-barang konsumtif, maka terjadilah masalah mengenai biaya pemeliharaannya. Untuk mengatasi kesulitan itu, perlu dicari sumber dana tetap melalui wakaf produktif. (Muhammad Daud Ali, 2006: hal. 96) 

2.    Peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah dan PMA tentang wakaf
a.    UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf
b.  PP Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. PP ini memang hanya mengatur wakaf pertanahan, karena memang dari awal perkembangan Islam di Indonesia, wakaf selalu identik dengan tanah, dana tanah ini digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan.
c.  PP No. 42 tahun 2006 tentang pengelolaan wakaf. PP ini terbit setelah didirikannya BWI.

3.    Tata Cara Pelaksanaan Wakaf.
Menurut pasal 9 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf. Yang dimaksud dengan pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf dalam hal ini adalah kepala KUA kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan tidak ada kantor KUA nya, maka kepala Kanwil Depag menunjuk kepala KUA terdekat sebagai pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf di kecamatan tersebut.
 Hal ini ditentukan dalam pasal 5 ayat 1 dan 3 Peraturan Mentri Agama No. 1 tahun 1978. Sebelumnya, pasal 2 ayat 1 dan 2 memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakukan secara tertulis. Dala hal wakif tidak dapat menghadap PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari kandepag yang mewilayahi tanah wakaf. Kemudian pasal 9 ayat 5 PP No. 28 Tahun 1977 menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan surat-surat berikut:
a)  Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilihan tanah lainnya.
b)  Surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa.
c)  Surat keterangan pendaftaran tanah.
d)  Izin dari Bupati atau walikotamadya kepala daerah cq. Kepala sub direktorat agraria setempat. (Al-Labij, 1997: hal. 34-35)





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan, organisasi maupun badan pengelola yang bertujuan untuk memberikan manfaat harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dgunakan sesuai dengan syariat Islam.
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Pada masa-masa awal penyiaran Islam, kebutuhan terhadap masjid untuk menjalankan aktivitas keagamaan dan dakwah berdampak positif, yakni pemberian tanah wakaf untuk mendirikan masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di komunitas Islam di Indonesia.





DAFTAR  PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. 2006. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Al-Labij, A. 1997. Perwakafan Tanah di Indonesia. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Iska, syukri dan Nengsih, Ifelda. 2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank. Padang: CV Jaya Surya.
Sudarsono, H. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: EKONISIA Fakultas Ekonomi UII.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar