
MAKALAH
MANAJEMEN
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH NON BANK
TENTANG
INSTITUSI
WAKAF
OLEH:
ADEK MUTIA
1730401004
adekmutiafebiiainbatusangkar.blogspot.com
DOSEN
PENGAMPU :
DR.H.SYUKRI
ISKA,M.Ag
IFELDA
NENGSIH,SEI,MA.
JURUSAN
PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wakaf merupakan hal yang sangat
penting dalam perekonomian umat. Sejak datangnya Islam, wakaf telah
dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam
di Indonesia yaitu adat istiadat. Wakaf telah menjadi salah satu penunjang
perkembangan masyarakat Islam..
Sistem manajemen
pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan
paradigma baru wakaf diindonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini
lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabdian benda wakaf, maka dalam
pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitik beratkan pada aspek pemanfaatan
yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri
Di Indonesia, sedikit sekali tanah
wakaf yang dikelola dengan produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat
dimanfaatkan. Maka dari itu, dibentuklah BWI (Badan Waqaf Indonesia) oleh pemerintah agar mampu mengembangkan wakaf melalui program
pemberdayaan maupun penghimpunan wakaf.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana mekanisme operasional
institusi Wakaf?
2.
Bagaimana perkembangan wakaf di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui dan memahami
bagaimana mekanisme operasional institusi Wakaf
2.
Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana
perkembangan wakaf di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Operasional Waqaf
1.
Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa arab
“waqafa”berarti menahan, berhenti,
diam di tempat, atau tetap berdiri. Wakaf bermakna “pembatas” atau “larangan”. Sehingga
wakaf digunakan dalam islam untuk maksud “kepemilikan dan pemeliharaan” harta
benda tertentu untuk kemanfaatan sosial yang ditetapkan dengan maksud mencegah
penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan . (Iska,
Nengsih, 2016: Hal. 156)
Menurut UU No.
41 tahun 2004, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum meneurut syariah. (dalam UU No. 41 Tahun 2004)
Dalam hukum
islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya)
kepada seseorang atau nadzir (pengelola wakaf), baik berupa perorangan,
organisasi maupun badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya
digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah
diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak
milik nadzir, tetapi menjadi hak milik allah dalam pengertian hak milik secara
umum.
2.
Tujuan Waqaf
a.
Menggalang tabungan sosial dan
menstranformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu
mengembangkan pasar modal sosial.
b.
Meningkatkan investasi sosial.
c. Menyisihkan sebagian keuntungan dari
sumber daya orang kaya atau berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak
generasi berikutnya.
d. Menciptakan kesadaran di antara
orang-orang kaya atau berkecukupan mengali tanggung jawab sosial mereka
terhadap masyarakat sekitarnya.
e. Menciptakan integrasi antara keamanan
sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan. (Sudarsono, 2003: hal. 263-265)
3.
Unsur-unsur wakaf
a.
Wakif (orang yang berwakaf)
b.
Nazhir (pengelola wakaf)
c.
Harta benda wakaf
d.
Ikrar waqaf
e.
Peruntukan harta waqaf
f.
Ikrar waqaf (Iska, Nengsih, 2016)
4. Harta
Benda Wakaf dan Pemanfaatannya.
Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak, dan benda
bergerak.
a.
Wakaf benda
tidak bergerak. Pasal 16 ayat 2 UU No. 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa benda
tidak bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:
1) Hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
sesudah maupun yang belum terdaftar.
2)
Bangunan atau
bagian bangunan yang terdiri dari di atas tanah.
3) Tanaman dana
benda lain yang berkaitan dengan tanah.
4) Hak milik atas
suatu rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
5) Benda tidak
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b.
Wakaf benda
bergerak
1)
Uang
2)
Logam mulia
3)
Surat berharga
4)
Kendaraan
5)
Hak atas
kekayaan intelektual
6)
Hak sewa
7)
Benda bergerak
yang sesuai denagn ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Iska, Nengsih, 2016)
B. Perkembangan Wakaf di Indonesia
Perkembangan
wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam.
Pada masa-masa awal penyiaran Islam, kebutuhan terhadap masjid untuk
menjalankan aktivitas keagamaan dan dakwah berdampak positif, yakni pemberian
tanah wakaf untuk mendirikan masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di
komunitas Islam di Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat
Islam dari waktu ke waKtu praktik perwakafan mengalami kemajuan. Tradisi wakaf
untuk tempat ibadah tetap bertahan dan mulai muncul wakaf lain untuk kegiatan
pendidikan seperti pendirian pesantren dan madrasah. Dalam periode berikutnya,
corak pemanfaatan wakaf terus berkembang sehingga mencakup pelayanan sosial
kesehatan seperti klinik.
Perkembangan
wakaf juga dipengaruhi oleh kebijakan perundang-undangan pada masanya. Aturan
perundang-undangan wakaf terus mengalami perkembangan sejalan dengan dinamika
perkembangan dan pengelolaan wakaf di lapangan. Jumlah dan aset wakaf terus
meningkat, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan upaya peningkatan
mutu pengelolaan wakaf, terutama peningkatan mutu sumber daya manusia dan
manajemennya. Karena itu wakaf produktif tidak berkembang dengan baik.
Ajaran wakaf
terus berkembang di Indonesia baik pada masa dakwah pra kolonial, masa
kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka. Masa pemerintahan
kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan
organisasi keagamaan, sekolah, pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya
dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun perkembangan wakaf kemudian tidak
mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk
kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, masdrasah, pekuburan,
sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi
rakyat banyak.
Walaupun
beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf,
seperti PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini
hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Hal tersebut berarti tidak jauh berbeda
dengan wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dengan kegunaannya
yang terbatas pada kegiatan sosial keagamaan.
Pada tahun
2001 stagnasi perkembangan wakaf mulai mengalami dinamis, beberapa praktisi
ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai
konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Pada
tahun 2002, MUI menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang
membolehkan wakaf uang. Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat dengan UU No. 41
Tahun 2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak
bergerak, tetapi juga berupa benda bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur
pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai
pada pengelolaan harta wakaf.
1.
Bentuk wakaf di Indonesia
Di Indonesia, wakaf pada umumnya
berupa benda-benda konsumtif, bukan barang-barang yang produktif. Dapat dilihat
pada mesjid, sekolah-sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan sebagainya. Hal
tersebut disebabkan karena beberapa hal, diantaranya seperti di Jawa tanah
telah sempit dan daerah-daerah lain, menurut hukum adat, hak milik perorangan
atau tanah dibatasi oleh hak masyarakat hukum adat. Karena harta yang
diwakafkan itu pada umumnya barang-barang konsumtif, maka terjadilah masalah
mengenai biaya pemeliharaannya. Untuk mengatasi kesulitan itu, perlu dicari
sumber dana tetap melalui wakaf produktif. (Muhammad Daud Ali, 2006: hal. 96)
2.
Peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah dan
PMA tentang wakaf
a.
UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf
b. PP Nomor 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. PP ini memang hanya mengatur wakaf
pertanahan, karena memang dari awal perkembangan Islam di Indonesia, wakaf
selalu identik dengan tanah, dana tanah ini digunakan untuk kegiatan sosial
keagamaan.
c. PP No. 42 tahun 2006 tentang pengelolaan wakaf. PP ini
terbit setelah didirikannya BWI.
3. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf.
Menurut pasal 9 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977, pihak yang hendak
mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan pejabat pembuat Akta Ikrar
Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf. Yang dimaksud dengan pejabat pembuat Akta
Ikrar Wakaf dalam hal ini adalah kepala KUA kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan
tidak ada kantor KUA nya, maka kepala Kanwil Depag menunjuk kepala KUA terdekat
sebagai pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf di kecamatan tersebut.
Hal ini ditentukan dalam
pasal 5 ayat 1 dan 3 Peraturan Mentri Agama No. 1 tahun 1978. Sebelumnya, pasal
2 ayat 1 dan 2 memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakukan secara tertulis.
Dala hal wakif tidak dapat menghadap PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar
secara tertulis dengan persetujuan dari kandepag yang mewilayahi tanah wakaf.
Kemudian pasal 9 ayat 5 PP No. 28 Tahun 1977 menentukan bahwa dalam
melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan surat-surat berikut:
a) Sertifikat
hak milik atau tanda bukti pemilihan tanah lainnya.
b) Surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala
kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak
tersangkut sesuatu sengketa.
c) Surat
keterangan pendaftaran tanah.
d) Izin dari Bupati atau walikotamadya kepala daerah cq. Kepala sub
direktorat agraria setempat. (Al-Labij, 1997: hal. 34-35)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik
yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik
berupa perorangan, organisasi maupun badan pengelola yang bertujuan
untuk memberikan manfaat harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dgunakan sesuai dengan syariat Islam.
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan
sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Pada masa-masa awal penyiaran
Islam, kebutuhan terhadap masjid untuk menjalankan aktivitas keagamaan dan
dakwah berdampak positif, yakni pemberian tanah wakaf untuk mendirikan masjid
menjadi tradisi yang lazim dan meluas di komunitas Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 2006. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Al-Labij, A. 1997. Perwakafan
Tanah di Indonesia. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Iska, syukri dan Nengsih, Ifelda. 2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank.
Padang: CV Jaya Surya.
Sudarsono, H. 2003. Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: EKONISIA Fakultas Ekonomi UII.