Sabtu, 31 Agustus 2019

Konsep Teoritas Manajemen Resiko dalam Perbankan Syariah



Description: Hasil gambar untuk lambang IAIN batusangkar

MAKALAH
MANAJEMEN RESIKO BANK

Tentang
“Konsep Teoritas Manajemen Resiko dalam Perbankan Syariah”


Oleh :
Adek Mutia
1730401004


Dosen Pengampu:
Ifelda Nengsih, SEI, MA



JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2019 





BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
        Resiko dapat diartikan sebagi suatu kemugkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya. Resiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipatied) maupun tidak dapat diperkirakan (unancipatied) yang berdampak negatif pada pendapatan maupun permodalan bank. Dengan kata lain, resiko adalah kemungkinan yang berpotensi memberikan dampak negatif pada sasaran yang indin dicapai.  Resiko ini haruslah di manajemen sedemikian rupa untuk dapat diminimalisir potensi terjadinya hasil yang tidak diinginkan. (Ikatan bankir indonesia, 2016, hal. 341)
Seiring dengan pertumbuhan perbankan yang sedemikian pesat, maka manajemen resiko menjadi sesuatu ynag penting untuk dikelola dengan baik. Resiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya tanpa adanya keberanian untuk mengambil resiko maka tidak akan pernah ada bank, hal tersebut dapat dipahami bahwa bank muncul karena keberanian untuk beresiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil resiko. Namun jika resiko tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan. 

B.  Rumusan Masalah
1.Apa pengertian perbankan syariah dan resiko?
2.Bagaimana regulasi di perbankan syariah?
3.Apa yang dimaksud dengan resiko dan kecukupan modal?
4.Bagaimana dampak resiko terhadap bank syariah?
5.Bagaimana kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko?

C.  Tujuan Masalah
1.Untuk mengetahui pengertian perbankan syariah dan resiko
2.Untuk mengetahui bagaimana regulasi di perbankan syariah
3.Untuk mengetahui resiko dan kecukupan modal
4.Untuk mengetahui bagaimana dampak resiko terhadap bank syariah
5.Untuk mengetahui bagaimana kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Perbankan Syariah dan Resiko
Perbankan adalah lembaga yang paling rentan atau berdekatan dengan resiko, khususnya resiko yang berkaitan dengan uang (money). Posisi bank sebagai mediasi yaitu pihak ynag menghubungkan mereka yang surplus dan defisit financial telah menempatkan perbankan harus menjaga hubungan baik dengan kedua pihak tersebut. Keputusan perbankan harus selalu bersifat moderat yaitu mempertimbangkan keinginan dari kedua pihak tersebut karena tanpa kedua pihak tersebut perbankan tidak bisa menjalankan aktivitas secara maksimal. Dalam artian jika perbankan memiliki tingkat likuiditas karena ia memiliki financial yang begitu surplus itu juga dianggap tidak baik, karena ia tidak menjalankan fungsinya sebagai agent of development. Namun sebaliknya jika ia tidak hati-hati dalam menyalurkan pinjaman maka perbankan sendiri yang akan menerima akibatnya, salah satunya adalah timbulnya kredit macet. (Fahmi, 2011, hal. 100)
Perbankan syariah, sebagai sebuah lembaga keuangan tidak bisa dipisahkan oleh resiko yang muncul dari usaha tersebut. Timbulnya resiko dalam lembaga keuangan sering sekali diidentifikasi dengan adanya return (hasil), hal ini karena resiko cenderung mempunyai hubungan positif dengan return. Artinya semakin besar resiko dari usaha atau bisnis, maka semakin besar pula kemungkinan return yang diharapkan.
Resiko perbankan adalah resiko yang dialami oleh sektor bisnis perbankan sebagai bentuk dari berbagai keputusan yang dilakukan dalam berbagai bidang seperti keputusan dalam penyaluran kredit, valuta asing, inkaso, dan berbagai bentuk keputusan financial lainnya, dimana itu telah menimbulkan  kerugian bagi perbankan tersebut, dan kerugian tersebut dalam bentuk financial karena bisnis perbankan adalah bisnis yang bergerak dalam bidang jasa keuangan. (Sumar’in, 2012. hal. 109)
Untuk mengelola resiko (risk management) dibutuhkan suatu ilmu dan seni tersendiri agar resiko itu memberi dampak positif pada pihak yang bersangkutan. jika bisnis yang dijalankan itu menyangkut  produksi dan pemasaran barang maka berarti resiko tersebut adalah menyangkut resiko yang dialami oleh barang yang di resiko dan dijual tersebut. (Fahmi, 2011, hal. 100-101)
Resiko-resiko yang secara alamiah melekat pada aktivitas perbankan tertentu yaitu:
1.    Resiko Kredit/ Pembiayaan
      Resiko kredit adalah resiko akibat kegagalan dibitur dan atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank. Contoh: nasabah A mengambil KPR dari bank B dengan skema murabahah berjangka waktu 25 tahun. Pada tahun pertama samapi tahun keempat, nasabah itu masih lancar dalam membayar angsuran. Pada tahun keenam nasabah di PHK dari perusahaanna. Atas kejadian itu Bank B berpotensi menghadapi resiko kredit karena nasabah tidak memiliki pendapatan lagi untuk membayar angsuran rumah yang sudah dinikmatinya.

2.    Resiko Pasar
      Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain resiko berupa perubahan nilai aset dari nilai apa yang diperdagangkan atau disewakan. Contoh: Bank C memberikan kredit pemilikan rumah dengan suku bunga fixed selama 3 tahun kepada debitur yang akan membeli 1 unit rumah. Karena inflasi yang cenderung meningkat, diprediksi suku bunga pasar akan mengalami kenaikan dalam kurun waktu 3 tahun ke depan. Dalam hal ini, bank C berpetensi mengalami resiko suku bunga pada banking book karena menerima pendapatan bunga yang lebih rendah daripada bunga yang seharusnya.

3.    Resiko Operasional
          Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem dan atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Contoh: a) pemalsuan bilyet deposito oleh karyawan bank yang kemudian dijadikan agunan pembiayaan, b) kesalahan postingan uang masuk karena pegawai yang ditunjuk kurang berpengalaman, c) terjadinya bencana alam berupa banjir sehingga bank tidak dapat beroperasi.

4.    Resiko Likuiditas
      Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau dari aset likuid yang berkualitas tinggi yang dapat digunakan tanpa mengganggu kondisi keuangan bank. Contoh: sebuah bank banyak memberikan kredit jangka panjang kepada debiturnya dengan sumber dana yang didominasi deposito lembaga 1 tahun. dengan struktur neraca mismatch maturity seperti itu, bank tersebut berpotensi menghadapi resiko likuiditas.

5.    Resiko Kepatuhan
          Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan yang berlaku. Contoh: petugas sebuah bank lambat menyampaikan laporan Sistem Informasi Dibitur (SID) kepada Bank Indonesia. Atas hal tersebut bank dikenakan denda oleh bank indonesia.

6.    Resiko Hukum
          Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum. Contoh: bank H tidak melakukan legal meeting dengan baik ketika memberikan kredit modal kerja kepada PT A, terutama verifikasi atas pengesahan kementerian hukum dan HAM atau perubahan Anggaran Dasar PT A. Di kemudian hari, ternyata pengurus PT A telah memalsukan pengesahan anggaran dasar PT A. Perbuatan pengurus PT A telah menyebabkan Bank H berpotensi mengalami resiko hukum.

7.    Resiko Strategi
          Resiko Strategi adalah resiko ketidaktepatan dalam pengambilan keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Contoh: pada rencana bisnis bank “canggih” tercantum rencana launching layanan internet banking dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya. Namun layanan tersebut tidak diikuti peningkatan kapasitas care banking system sehingga sering terjadi kegagalan transaksi pada internet bankingnya.

8.    Resiko Reputasi
          Resiko Reputasi adalah resiko menurunya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadp bank. Contoh: mesin ATM Bank Neptunus sering mengalami “off-line” sehingga membuat kecewa nasabahnya setiap kali melakukan transaksi pada mesin ATM bank neptunus. Nasabah melampiaskan rasa kecewanya melalui kontak pembaca di harian nasional.

9.    Resiko Imbal Hasil
          Resiko Imbal Hasil adalah resiko perubahan tingkat imbal hasil yng dibayarkan oleh bank kepada nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang mempengaruhi prilaku nasabah dan pihak ketiga bank. Contoh: bank memberikan imbal hasil dana yang lebih kecil dibandingkan dengan bulan lalu akibatnya beberapa debiturnya mengalami penurunan kualitas pembiayaan.

10.  Resiko Investasi
          Resiko Investasi adalah resiko akibat bank ikut menanggung kerugian nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit dan loss sharing. Contoh: bank menderita kerugian atas fasilitas pembiayaan mudharabah yang disalurkan kepada suatu nasabah yang bergerak di bidang usaha tekstil.  (Ikatan Bankir Indonesia, 2016, hal. 343-347

B.  Perbankan Syariah dan Regulasi
Regulasi  adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat dengan aturan tertentu. Istilah regulasi ini banyak digunakan dalam segala hal sehingga pengertiannya memang cukup luas regulasi ini banyak digunakan untuk menggambarkan peraturan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Adapun periode regulasi perbankan secara umum sampai regulasi perbankan syariah yaitu sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan
  Regulasi perbankan di Indonesia secara sistemastis dimulai sejak tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan yang mengatur secar komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu. Di dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara pihak bank dengan pihak lain, dimana pihak meminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yng ditentukan.
  Dari bunyi pasal diatas, dapat diketahui perbankan (konvensional)  yang ada pada itu  menggunakan sistem kredit. Sehingga tidak memungkin perbankan syariah pada masa itu didirikan karena karena konsep bunga yang melekat pada kredit, bahkan pada masa itu tingkat bunganya ditentukan oleh pemerintah secara seragam.
2. Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan
  PT Bank Muamlaat Indonesia tbk dilahirkan pada 1 November 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim, pendirian bank muamalat juga mendapatkan dukungan dari maysrakat, terbukti dari pembelian saham perserosenilai Rp. 84 miliar saat penandatanganan akta pendirian perseroan tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menamakan modal senilai Rp. 106 miliar.
 Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. landasan hukun operasi bank dengan sistem bagi hasil tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Sistem bagi hasil dalam Undang-undang ini hanya diuraikan sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka. (Antonio, 2001, hal. 26)

3. Undang-undang No. 14 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Perkembangan perbankan syariah sangat pesat dan menjanjikan prospek yang menguntungkan meskipun eksistensi bank syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya Undang-undang No. 7 tahun 1992 namun, harus diakui bahwa undang-undang tersebut memang belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih menggunakan istilah bank bagi hasil.
Tahun 1998 lahirlah undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang No. 7 tahun  1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut mengatur lebih rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan. Walaupun undang-undang ini belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana disisis lain pertumbuhan dan volume bank syariah berkembang cukup pesat.
Kemudian pada tahun 1999 lahir Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini juga menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.  Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dan Undang-undang No.10 tahun 1998 dan Undang-undang No. 23 tahun 1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.

4. Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 21 tahun 2008 menyebutkan bahwa guna menjamin kepastian hukum begistakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah., dalam undang-undang syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan usaha, kelayakan usaha, penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah maupun unit usaha syariah yang merupakan bagian dari bank konvensional. 
Undang-undang No. 21 tahun 2008 memiliki beberapa ketentuan ynag menarik untuk dicermati yaitu:
a. Istilah Bank Perkreditan rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
b.  Definisi prinsip syariah. Dalam definisi dimaksudkan untuk memiliki dua pesanpenting yaitu: prinsip syariah adalah hukum islam dan penetapan pihak lembaga/ yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
c.  Penetapan dewan pengawas syariah sebagai pihak terafiliasi seperti akuntan publik, konsultan dan penilai.

      Regulasi Manajemen Resiko Bank Indonesia.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No 5/21/DPNP tangga 29 September 2003 perihal penerapan manajemen resiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan SE BI No. 13/23/DPNP tanggal 25 Oktober 2011, bank umum harus memiliki pedoman standar penerapan manajemen resiko paling kurang memuat:
1.    Penerapan manajemen resiko secara umum.
2.   Penerapan manajemen resiko untuk masing-masing resiko, yang mencakup 8 resiko, yaitu resiko kredit, resiko hukum, resiko strategis, resiko kepatuhan dan resiko reputasi.
3.    Penilaian profil resiko.
   Sesuai  PBI No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Bank Unit Usaha Syariah, terdapat 10 resiko yang harus dikelola bank. Kesepuluh resiko yang harus dikelola bank adalah resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko hukum, resiko strategis, resiko kepatuhan, resiko reputasi, resiko imbal hasil dan resiko investasi.
Dalam pengelolaan manajemen resiko, saat ini bank syariah masih mengacu pada SE BI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 dengan cakupan pengelolaan manajemen resiko mencakup 8 resiko, sedangkan untuk 2 resiko lainnya, yaitu resiko imbal hasil dan Resiko Investasi, belum dilakukan pengukuran. (Ikatan bankir indonesia, 2016, hal. 341-343)

C.  Resiko dan Kecukupan Modal
          Bank yang memiliki tingkat kecukupan modal baik menunjukkan indikator bank sehat. Sebab kecukupan modal menunjukkan keadaan yang dinyatakan dengan rasio tertentu yang disebut rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Tingkat kecukupan modal ini diukur dengan dua cara yaitu:
1.    Membandingkan Modal dengan Dana-dana Pihak Ketiga
Dilihat dari sudut perlindungan kepentingan para deposan, perbandingan antara modal dengan pasifa merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan masyarakat pada bank. Perbandingan antara rasio modal dengan simpanan yang ada pada bank dikatakan sehat apabila mencapai 10%.
Modal dan simpanan masyarakat harus dipadukan dengan memperhitungkan aktiva yang mengandung resiko. Oleh karena itu modal harus dilengkapi oleh berbagai cadangan sebagai penyangga modal, sehinggaa secara umum modal bank terdiri dari modal inti dan modal perlengkapan.
2.    Membandingkan Modal dengan Aktiva Beresiko
Ukuran kedua inilah yang dewasa ini kesepakatan bank for international settlements (BIS) yiatu organisasi Bank Sentral dari berbagai negara-negara maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Kesepakatan tentang ketentuan permodalan itu dicapai pada tahun 1988, dengan menetapkan CAR, yaitu ratio minimum yang mendasarkan kepada membandingkan antara modal dengan aktiva beresiko. Kesempatan ini dilatar belakangi oleh hasil pengamatan para ahli perbankan di negara-negara maju termasuk IMF dan Word Bank, tentang adanya ketimpangan struktu dan sistem perbankan internasional. Hal ini didukung oleh beberapa indikasi sebagai berikut:
a.     Krisis pinjaman negara-negara Amerika telah mengganggu kelancaran arus peredaran uang international.
b.    Persaingan yang dianggap unfair antara bank-bank Jepang dengan bank-bank Amerika dan Eropa dipasar uang Internasional. Bank-bank Jepang memberikan pinjaman amat lunak (bunga rendah) karena ketentuan CAR di negara itu amat lunak, antara 2 sampi 3 persen saja.
c.  Terganggu situasi pinjaman internasional yang berakibat terganggunya perdagangan internasional.
Berdasarlan indikasi-indikasi itu lalu BIS menetapkan ketentuan perhitungan Capital Eduequacy ratio (CAR) yang harus diikuti oleh bank-bank diseluruh dunia sebagai aturan main dalam kompetisi yang di fair dipasar keuangan global yaitu minimum 8% permodalan terhadap aktiva beresiko. (Muhammad, 2005, hal. 247-248).        

D.      Dampak Resiko Terhadap Bank Syariah
 Kegagalan dalam pengelolaan resiko dapat berpengaruh terhadap nasabah. Dampak yang terjadi dapat secara langsung maupun tidak langsung dan seketika dapat diidentifikasi. Pengaruh risk event yang berlangsung secara berkelanjutan, pada gilirannya akan menimbulkan risk loss resiko untuk itu muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank yang lain. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya resiko-resiko lain. Dampak- dampak resiko perbankan syariah diantaranya:
1.    Dampak terhadap Pemegang Saham
        Pengaruh risk loss terhadap pemegang saham:
a.  Penurunan nilai investasi, yang akan memberikan pengaruh terhadap penurunan harga dan atau penurunan keuntungan, turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang berarti turunya kesejahteraan pemegang saham.
b.  Hilangnya peluang memperoleh deviden yang seharusnya diterima  sebagai akibat dari turunya keuntungan perusahaan.
c. Kegagalan investasi yang telah dilakukan, hingga yang paling parah adalah kebangkrutan perusahaan yang melenyapkan nilai semua modal disetor.

2.    Dampak terhadap Karyawan
Karyawan suatu bank dapat terpengaruh oleh suatu peristiwa resiko (risk event) yang menimbulkan risk loss terkait dengan keterlibatan mereka. Pengaruh tersebut berupa dikenakan sanksi indisipliner, karena kelalaian yang menimbulkan kerugian, penguranagan pendapat seperti pengurangan bonus atau pemotongan gaji atau pemutusan hubungan kerja.

3.    Dampak terhadap Nasabah
Pengaruh risk event yang berlangsung secara berkelanjutan dan bergiliran akan menimbulkan resiko terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri. Konsekuensi risk loss ynag berdampak terhadap nasabah bank adalah:
a.    Merosotnya tingkat pelayanan
b.    Berkuranya jenis dan kualitas produk yang ditawarkan.
c.    Krisis liquiditas sehingga menyulitkan dalam pencairan dana
d.   Perubahan peraturan.

4.    Dampak terhadap Perekonomian
Sebagai institut yang mengelola uang sebagai aktivitas utamanya, bank-bank memiliki resiko yang melekat secara sistematik. Risk loss yang terjadi pada suatu bank yang bersangkutan, tetapi juga berdampak terhadap nasabah dan perekonomian secara keseluruhan. Dampak yang ditimbulkan tersebut dinamakan resiko sistematik. (Sulhan, M dan Siswanto, Ely, 2008, hal. 302-303)

E.       Kebutuhan Perbankan Syariah Terhadap regulasi dan Manajemen Resiko
Sebagai salah satu pilar sector keuangan dalam melaksanakan fungsi intermediasi dan pelayanan jasa keuangan, sector perbankan jelas sangat memerlukan adanya distribusi resiko yang sangat efisien. Tingat efesien dalam distribusi resiko inilah ynag mestinya menentukan sumberdaya dana di dalam perekonomian. Oleh karena itu pelaku sector perbankan dana dan khususnya bank syariah dituntut untuk mampu secara efektif mengelola resiko yang dibandingkannya.
Resiko yang dihadapi bank tidak hanya berdampak langsung kepada karyawan, nasabah, pemegang saham namun juga berdampak pada perekonomian. Inilah yang sering disebut resiko  sistematik. Resiko  sistematik ini bisa terjadi apabila bank sebagai lembaga keuangan yag menjual kepercayaan sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat maka akan terjadi penarikan dana oleh nasabahnya secara besar-besaran hal ini dikenal dengan sebutan run on a bank  yang dapat terjadi ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya atau dengan kata lain bank tidak memiliki kecukupan kas untuk memmenuhi penarikan dana dari masayarakat. Hal ini tentunya akan menimbulkan dampak negatif bagi bank itu sendiri dan perekonomian secara luas.
Untuk menghindari resiko tersebut, maka otoritas perbankan merasa perlu membuat regulasi bukan hanya untuk melindungi nasabah dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap industri-indutri kepercayaan mereka tersebut.
Penetapan sistem manajemen resiko pada perbankan syariah sangat diperlukan baik untuk menekan kemungkinan terjadinya kerugian akibat resiko maupun memperkuat struktur kelembagaan, misalnya kecukupan modal untuk meningkatkan kapasitas, posisi tawar dan reputasinya dalam manarik nasabahnya. Kewajiban penerapan manajemen resiko oleh Bank Indonesia (BI) yang disusul oleh ketentuan kecukupan modal dan menambahkan beban perhitungan yang dinilai sejauh ini cukup kompleks, telah memberikan kontribusi penting bagi kelangsungan usaha perbankan Nasional.
Manajemen resiko sangat penting bagi stabilitas perbankan, hal ini karena bisnis perbankan sangat berhubungan dengan resiko. Dalam kegiatannya dalam menghadapi berbagai resiko, seperti resiko kredit (pembiayaan), resiko pasar dan resiko operasional. Manajemen resiko yang baik bagi bank bisa memastikan bank akan selamat dari kehancuran jika keadaan terburuk terjadi.
Beberapa alasan mengapa manajemen resiko begitu  penting bagi perbankan syariah diantaranya:
1. Bank adalah perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi sehingga resiko tidak mungkin tidak ada
2. Dengan mengetahui resiko maka kita dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi permasalah nasabah.
3.  Dapat lebih menumbuhkan pemahaman pengawasan melekat, yang merupakan fungsi sangat penting dalam aktifitas operasional. (Sulhan, 2008, hal. 149-150)   





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Resiko perbankan adalah resiko yang dialami oleh sektor bisnis perbankan sebagai bentuk dari berbagai keputusan yang dilakukan dalam berbagai bidang seperti keputusan dalam penyaluran kredit, valuta asing, inkaso, dan berbagai bentuk keputusan financial lainnya, dimana itu telah menimbulkan  kerugian bagi perbankan tersebut, dan kerugian tersebut dalam bentuk financial karena bisnis perbankan adalah bisnis yang bergerak dalam bidang jasa keuangan.
Sesuai  PBI No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Bank Unit Usaha Syariah, terdapat 10 resiko yang harus dikelola bank yaitu resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko hukum, resiko strategis, resiko kepatuhan, resiko reputasi, resiko imbal hasil dan resiko investasi.
Kecukupan modal menunjukkan keadaan yang dinyatakan dengan rasio tertentu yang disebut rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Tingkat kecukupan modal ini diukur dengan dua cara yaitu: 1) Membandingkan Modal dengan Dana-dana Pihak Ketiga, 2) Membandingkan Modal dengan Aktiva Beresiko.
Beberapa alasan mengapa manajemen resiko begitu  penting bagi perbankan syariah diantaranya: 1) Bank adalah perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi sehingga resiko tidak mungkin tidak ada, 2) Dengan mengetahui resiko maka kita dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi permasalah nasabah. 3) Dapat lebih menumbuhkan pemahaman pengawasan melekat, yang merupakan fungsi sangat penting dalam aktifitas operasional.

B.       Saran
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Saya selaku penulis menyadari sepenuhnya kekurangan dari makalah ini untuk itu kami menerima apabila ada kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah kedepannya.





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. “Islamic Banking: Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insan Press.
Fahmi, Irfan. 2011. “Manajemen Resiko Teori, Kasus, Dan Solusi”. Bandung: Alfabeta.
Ikatan bankir indonesia. 2016. “Memahami Bisnis Bank Syariah”. jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI.
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: Percetakan UPPI.
Sulhan, M dan Siswanto, Ely. 2008. “Manajemen Bank Konvensional Dan Syariah”. Malang: UIN Malang Press.
Sumar’in. 2012. “Konsep Kelembagaan Bank Syariah”. Yogyakarta: Graha Ilmu.